Kerajaan Eropa Abad Pertengahan Disebut

Kerajaan Eropa Abad Pertengahan Disebut

Sintasnya Kekaisaran Romawi Timur

Tatkala kerajaan-kerajaan baru bertumbuh di Eropa Barat, Kekaisaran Romawi Timur justru tetap utuh dan mengalami kebangkitan perekonomian yang bertahan sampai dengan abad ke-7. Wilayah timur Kekaisaran Romawi ini juga didera invasi, tetapi dalam jumlah yang lebih kecil; sebagian besar terjadi di kawasan Balkan. Perdamaian dengan Kekaisaran Sasani, musuh bebuyutan Roma, bertahan hampir sepanjang abad ke-5. Di Kekaisaran Romawi Timur ini pula hubungan negara dan Gereja menjadi semakin akrab, sampai-sampai perkara doktrin Gereja pun menjadi urusan politik negara. Keadaan semacam ini tidak pernah terjadi di Eropa Barat. Salah satu kemajuan yang dicapai di bidang hukum adalah kodifikasi hukum Romawi; upaya kodifikasi yang pertama, yakni penyusunan Kitab Undang-Undang Teodosius (bahasa Latin: Codex Theodosianus), rampung pada 438.[56] Pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565), upaya kodifikasi lainnya dilakukan, yakni penyusunan Kumpulan Hukum Sipil (bahasa Latin: Corpus Juris Civilis).[57] Kaisar Yustinianus juga menitahkan pembangunan Hagia Sofia di Konstantinopel, serta mengerahkan bala tentara Romawi di bawah pimpinan Belisarius (wafat 565)[58] untuk merebut kembali Afrika Utara dari orang Vandal, dan merebut kembali Italia dari orang Ostrogoth.[59] Penaklukan Italia tidak kunjung tuntas akibat merebaknya wabah maut pada 542 yang mendorong Kaisar Yustinianus untuk mengerahkan seluruh kekuatan militer bagi kepentingan pertahanan negara ketimbang bagi usaha-usaha penaklukan sampai masa pemerintahannya berakhir.[59]

Ketika Kaisar Yustinianus mangkat, orang-orang Romawi Timur telah menguasai sebagian besar wilayah Italia, Afrika Utara, dan sejumlah kecil daerah tempat berpijak di kawasan selatan Spanyol. Upaya Kaisar Yustinianus untuk merebut kembali wilayah-wilayah itu dicela oleh para sejarawan sebagai suatu usaha perluasan wilayah yang melebihi kesanggupan dan membuat Kekaisaran Romawi Timur menjadi rentan terhadap aksi-aksi penaklukan perdana kaum Muslim. Meskipun demikian, banyak dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para pengganti Yustinianus bukan semata-mata disebabkan oleh pengenaan pajak secara berlebihan guna mendanai perang-perang pada masa pemerintahan Yustinianus, melainkan juga disebabkan oleh sifat sipil yang merupakan sifat asasi kekaisaran itu, sehingga kekaisaran sukar untuk merekrut rakyat menjadi prajurit.[60]

Di wilayah timur Kekaisaran Romawi, penyusupan orang Slav secara perlahan-lahan ke kawasan Balkan menambah jumlah masalah yang harus dihadapi para kaisar pengganti Yustinianus. Proses penyusupan ini berlangsung sedikit demi sedikit, tetapi pada penghujung dasawarsa 540-an, suku-suku Slav sudah menduduki Trakia dan Iliria (bahasa Latin: Illyricum), setelah mengalahkan bala tentara kekaisaran di dekat Adrianopel pada 551. Pada dasawarsa 560-an, orang Avar mulai meluaskan wilayah kedaulatan dari pangkalan mereka di tepi utara Sungai Donau; pada penghujung abad ke-6, orang Avar sudah merajalela di Eropa Tengah dan mampu secara rutin memaksa kaisar-kaisar wilayah timur untuk mempersembahkan upeti. Orang Avar terus merajalela sampai 796.[61]

Masalah lain yang harus dihadapi kekaisaran muncul sebagai akibat dari campur tangan Kaisar Maurisius (memerintah 582–602) dalam sengketa alih kepemimpinan di Persia. Campur tangan Kaisar Maurisius dalam urusan politik Persia ini memang membuahkan hubungan damai antara kedua kekaisaran, tetapi ketika Kaisar Maurisius digulingkan dari takhta, orang-orang Persia kembali menyerang. Pada masa pemerintahan Kaisar Heraklius (memerintah 610–641), orang-orang Persia telah menguasai sebagian besar wilayah Kekaisaran Romawi Timur, termasuk Mesir, Suriah, dan Anatolia, sebelum akhirnya dapat dipukul mundur oleh Kaisar Heraklius. Pada 628, Kekaisaran Romawi Timur berhasil mengikat perjanjian damai dengan Persia dan menguasai kembali seluruh wilayahnya yang pernah direbut.[62]

Seni rupa dan arsitektur pada Akhir Abad Pertengahan

Seluruh kurun waktu Akhir Abad Pertengahan di Eropa bertepatan dengan kurun waktu perkembangan kebudayaan Trecento dan kebudayaan Awal Abad Pembaharuan di Italia. Kawasan utara Eropa dan Spanyol masih terus menggunakan langgam seni rupa Gothik yang semakin halus dan rumit pada abad ke-15 sampai menjelang berakhirnya kurun waktu Akhir Abad Pertengahan. Langgam Gothik antarbangsa adalah langgam seni rupa keningrat-ningratan yang menyebar ke hampir seluruh Eropa pada dasawarsa-dasawarsa sekitar tahun 1400. Langgam seni rupa ini menghasilkan sejumlah mahakarya semisal Très Riches Heures du Duc de Berry (Buku Ibadat Harian Teramat Mewah Milik Adipati Berry).[322] Di seluruh Eropa, karya-karya seni rupa sekuler terus mengalami peningkatan jumlah maupun mutu, dan pada abad ke-15, kaum saudagar di Italia dan Flandria menjadi pelindung-pelindung yang penting bagi seni rupa. Saudagar-saudagar ini memesan pembuatan potret-potret diri mereka dalam ukuran kecil yang dilukis dengan cat minyak, dan semakin lama semakin banyak memesan pembuatan barang-barang mewah seperti perhiasan, benian-benian gading, peti-peti cassone (peti-peti mewah berukuran besar), dan tembikar-tembikar mayolika. Barang-barang mewah ini juga mencakup gerabah Hispania-Moresko yang sebagian besar merupakan hasil karya pengrajin-pengrajin tembikar Mudéjar di Spanyol. Meskipun kerabat kerajaan mengoleksi banyak sekali wadah-wadah perlengkapan makan minum, hanya segelintir benda-benda semacam ini yang sintas sampai sekarang, salah satunya adalah Cawan Santa Agnes.[323] Pembuatan kain sutra dikembangkan di Italia sehingga gereja-gereja dan kalangan elit di Dunia Barat tidak perlu lagi bergantung pada sutra impor dari Romawi Timur maupun Dunia Islam. Di Prancis dan Flandria, kerajinan tenun tapestri, yang menghasilkan kumpulan-kumpulan tapestri secorak seperti seperangkat tapestri yang diberi nama La Dame à la licorne (Tuan Putri dan Kuda Bercula), menjadi industri besar dalam bidang pembuatan barang mewah.[324]

Penempatan patung-patung pahatan pada sisi luar gedung-gedung gereja berlanggam Gothik Perdana tergantikan oleh penempatan lebih banyak patung pahatan di dalamnya, manakala makam-makam dibuat semakin indah dan benda-benda lain di dalam gereja semisal mimbar dihiasi dengan ukiran berlimpah, contohnya mimbar gereja Santo Andreas karya Giovanni Pisano. Karya-karya seni penghias altar, baik yang berupa lukisan maupun relief ukiran, menjadi benda yang lumrah dilihat orang, lebih-lebih manakala kapel-kapel samping mulai ditambahkan pada gedung-gedung gereja. Lukisan-lukisan Belanda perdana karya seniman-seniman semisal Jan van Eyck (wafat 1441) dan Rogier van der Weyden (wafat 1464) menyaingi lukisan-lukisan buatan Italia, demikian pula naskah-naskah beriluminasi buatan kawasan utara Eropa yang mulai banyak dikoleksi oleh kalangan elit sekuler pada abad ke-15. Kalangan ini juga memesan pembuatan buku-buku bertema sekuler, teristimewa buku-buku sejarah. Semenjak sekitar tahun 1450, buku-buku cetak dengan cepat menjadi populer meskipun masih mahal harganya. Terdapat sekitar 30.000 edisi berbeda dari incunabula atau karya-karya tulis yang dicetak sebelum tahun 1500,[325] yakni pada masa ketika naskah-naskah beriluminasi hanya dipesan oleh kerabat kerajaan dan segelintir orang dari kalangan lain. Gambar-gambar cetak cukil kayu berukuran sangat kecil, yang hampir semua bertema keagamaan, dipasarkan dengan harga yang terjangkau sejak pertengahan abad ke-15, bahkan kaum tani di pelosok-pelosok utara Eropa sekalipun mampu membelinya. Gambar-gambar cetak gravir (cukil logam), yang lebih mahal harganya dan lebih beragam temanya, dipasarkan di kalangan-kalangan yang lebih mampu.[326]

Munculnya kekuasaan negara

Puncak Abad Pertengahan adalah kurun waktu formatif dalam sejarah negara modern di Dunia Barat. Raja-raja di Prancis, Inggris, dan Spanyol memperkukuh kekuatan mereka, dan membentuk lembaga-lembaga pemerintahan yang terus bertahan dalam waktu yang sangat lama.[181] Kerajaan-kerajaan baru, seperti Hungaria dan Polandia, menjadi kekuatan-kekuatan utama di kawasan tengah Eropa setelah menerima agama Kristen.[182] Orang Magyar menetap di Hungaria sekitar tahun 900 di bawah pimpinan Raja Árpád (wafat sekitar 907) setelah beberapa kali melancarkan invasi pada abad ke-9.[183] Lembaga kepausan, yang sudah lama terpikat pada ideologi kemerdekaan dari raja-raja sekuler, untuk pertama kali dalam sejarahnya menyatakan diri sebagai penguasa duniawi atas seluruh Dunia Kristen. Monarki kepausan mencapai puncak kejayaannya pada awal abad ke-13 di bawah kepemimpinan Paus Inosensius III (menjabat 1198–1216).[184] Perang Salib Utara dan pergerakan kerajaan-kerajaan dan tarekat-tarekat militer Kristen ke daerah-daerah pagan di kawasan Laut Baltik dan kawasan timur laut Finlandia mengakibatkan terjadinya asimilasi paksa sejumlah besar suku bangsa pribumi setempat ke dalam kebudayaan Eropa.[185]

Pada permulaan kurun waktu Puncak Abad Pertengahan, Jerman berada di bawah pemerintahan wangsa Otto yang bersusah payah berusaha mengendalikan adipati-adipati yang sangat berkuasa di negeri itu, yakni para penguasa wilayah-wilayah kesukuan yang terbentuk pada Zaman Migrasi. Pada 1024, wangsa Otto digantikan oleh wangsa Sali, yang terkenal pernah bertikai dengan lembaga kepausan pada masa pemerintahan Kaisar Heinrich IV (memerintah 1084–1105) sehubungan dengan kewenangan Sri Paus untuk mengangkat petinggi Gereja. Pertikaian seputar kewenangan mengangkat petinggi gereja ini disebut Kontroversi Investitur.[186] Kaisar-kaisar penggantinya masih harus berjuang keras menghadapi lembaga kepausan maupun kaum ningrat Jerman. Sepeninggal Kaisar Heinrich V yang mangkat tanpa meninggalkan ahli waris, Jerman memasuki kurun waktu instabilitas yang baru berakhir setelah Friedrich Barbarossa (memerintah 1155–1190) naik takhta.[187] Meskipun Friedrich Barbarossa memerintah secara efektif, permasalahan-permasalahan hakiki belum juga tuntas, sehingga kaisar-kaisar penggantinya pun masih harus berjuang keras sampai dengan abad ke-13.[188] Cucu Friedrich Barbarossa, Friedrich II (memerintah 1220–1250), yang juga mewarisi takhta Kerajaan Sisilia melalui garis nasab ibunya, berulang kali bertikai dengan lembaga kepausan. Majelis istananya terkenal beranggotakan kaum cerdik pandai, dan ia sendiri acap kali dituduh sebagai seorang ahli bidah.[189] Friedrich II maupun kaisar-kaisar penggantinya harus berjuang menanggulangi berbagai macam kesulitan, antara lain invasi bangsa Mongol ke Eropa pada pertengahan abad ke-13. Bangsa Mongol mula-mula meluluhlantakkan kepangeranan-kepangeranan Rus' Kiev, dan selanjutnya menginvasi kawasan timur Eropa pada tahun 1241, 1259, dan 1287.[190]

Di bawah pemerintahan raja-raja wangsa Capet, monarki Prancis sedikit demi sedikit menundukkan kaum ningrat. Dari daerah Île-de-France, raja-raja wangsa Capet perlahan-lahan meluaskan kekuasaannya ke daerah-daerah lain di wilayah Prancis pada abad ke-11 dan ke-12.[191] Saingan terberat raja-raja wangsa Capet adalah para Adipati Normandia. Pada 1066, Adipati Normandia, Guillaume II atau William Sang Penakluk (menjabat 1035–1087), berhasil menaklukkan Inggris (memerintah selaku Raja Inggris 1066–1087) dan membangun sebuah kekaisaran lintas selat yang mampu bertahan dalam berbagai bentuknya sepanjang sisa kurun waktu Abad Pertengahan.[192][193] Orang Norman juga mendiami Sisilia dan kawasan selatan Italia, semenjak Robert Guiscard (wafat 1085) mendarat di pulau itu pada 1059 dan mendirikan sebuah kadipaten yang menjadi cikal bakal Kerajaan Sisilia.[194] Pada masa pemerintahan raja-raja Inggris dari wangsa Anjou, terutama Raja Henry II (memerintah 1154–1189) dan putranya, Raja Richard I (memerintah 1189–99), raja-raja Inggris memerintah atas wilayah Inggris dan daerah yang luas di wilayah Prancis.[195][V] Sebagian besar dari daerah kekuasaan di wilayah Prancis ini menjadi milik pusaka wangsa Anjou semenjak Raja Henry II menikahi Aliénor, Adipati Putri Aquitania (wafat 1204), ahli waris atas sebagian besar daerah di kawasan selatan Prancis.[197][W] Kadipaten Normandia dan daerah-daerah kekuasaan Inggris di kawasan utara Prancis jatuh ke tangah Raja Prancis, Philippe Auguste (memerintah 1180–1223), pada masa pemerintahan adik dari Raja Richard I, Raja John (memerintah 1199–1216). Hilangnya daerah kekuasaan ini menimbulkan perselisihan di kalangan bangsawan Inggris, sementara pungutan paksa yang diberlakukan Raja John guna mendanai usahanya yang gagal untuk merebut kembali wilayah Normandia berbuntut pada penandatanganan Magna Carta (piagam agung) tahun 1215 yang mengukuhkan hak-hak dan keistimewaan warga merdeka di Inggris. Pada masa pemerintahan putra Raja John, Raja Henry III (memerintah 1216–1272), semakin banyak keleluasaan dianugerahkan kepada kaum bangsawan sehingga mengakibatkan merosotnya kuasa kerajaan.[198] Monarki Prancis melanjutkan usahanya untuk menundukkan kaum ningrat pada penghujung abad ke-12 sampai abad ke-13, sehingga luas kawasan yang diperintah secara langsung oleh raja semakin bertambah, dan pemerintahan Kerajaan Prancis menjadi semakin terpusat.[199] Pada masa pemerintahan Raja Louis IX (memerintah 1226–1270), muruah raja semakin meningkat manakala Raja Prancis menjadi tokoh penengah yang disegani oleh hampir seluruh penguasa di Eropa.[200][X]

Di Jazirah Iberia, negara-negara Kristen yang terpinggirkan ke kawasan barat laut jazirah mulai berbalik menekan negara-negara Islam di kawasan selatan jazirah pada kurun waktu yang dikenal dengan sebutan Reconquista (penaklukan kembali).[202] Sekitar tahun 1150, masyarakat Kristen di kawasan utara jazirah telah bersatu membentuk lima kerajaan besar, yakni Kerajaan León, Kerajaan Kastila, Kerajaan Aragon, Kerajaan Navara, dan Kerajaan Portugal.[203] Kawasan selatan Jazirah Iberia masih dikuasai negara-negara Islam merdeka yang disebut taifa, pecahan dari Khilafah Kordoba (bahasa Arab: خلافة قرطبة, Khilāfat Qurṭuba) yang runtuh pada 1031.[202] Negara-negara Islam ini berperang melawan negara-negara Kristen sampai Khilafah Almohad (bahasa Arab: خلافة الموحدون, Khilāfatul Muwaḥḥidūn) menegakkan kembali pemerintahan Islam yang terpusat di kawasan selatan jazirah pada dasawarsa 1170-an.[204] Bala tentara Kristen sekali lagi maju memerangi kaum Muslim pada permulaan abad ke-13. Perang melawan kaum Muslim ini mencapai puncaknya pada peristiwa penaklukan kota Sevilla tahun 1248.[205]

Pada abad ke-11, orang Turki Seljuk merebut sebagian besar wilayah Timur Tengah, menduduki Persia pada dasawarsa 1040-an, Armenia pada dasawarsa 1060-an, dan Yerusalem pada tahun 1070. Pada 1071, bala tentara Turki mengalahkan bala tentara Romawi Timur dalam Pertempuran Manzikert, bahkan berhasil menawan Kaisar Romawi Timur, Romanos IV (memerintah 1068–1071), sehingga orang Turki akhirnya dapat leluasa menginvasi Asia Kecil. Pendudukan Asia Kecil oleh orang Turki merupakan pukulan berat bagi Kekaisaran Romawi Timur, karena harus kehilangan sebagian besar warganya sekaligus pusat kekuatan perekonomiannya. Meskipun mampu kembali menyatukan barisan dan memulihkan kekuatan tempurnya, Kekaisaran Romawi Timur tidak pernah sanggup merebut kembali seluruh Asia Kecil dan sering kali menjadi pihak yang harus bertahan digempur musuh. Bangsa Turki juga menghadapi kesulitan, Yerusalem yang sudah berhasil mereka kuasai akhirnya jatuh ke tangan kaum Fatimiyun dari Mesir, dan didera serangkaian perang saudara.[207] Kekaisaran Romawi Timur juga harus menghadapi bangsa Bulgaria yang kembali bangkit dan menyebar ke seluruh Jazirah Balkan pada penghujung abad ke 12 sampai abad ke 13.[208]

Perang Salib bertujuan merebut Yerusalem dari penguasaan kaum Muslim. Perang Salib Pertama dimaklumkan oleh Paus Urbanus II (menjabat 1088-1099) dalam Konsili Clermont pada 1095 sebagai tanggapan terhadap permintaan bantuan yang diajukan Kaisar Romawi Timur, Aleksios Komnenos (memerintah 1081–1118) untuk membendung laju pergerakan kaum Muslim. Paus Urbanus menjanjikan anugerah indulgensi bagi siapa saja yang ikut serta. Berlaksa-laksa orang dari seluruh lapisan masyarakat berdatangan dari seluruh pelosok Eropa dan merebut Yerusalem pada 1099.[209] Salah satu aksi yang menjadi bagian dari Perang Salib adalah pogrom (aksi pembinasaan) terhadap orang-orang Yahudi Eropa yang sering kali dilakukan pada saat bala Tentara Salib bergerak meninggalkan tanah airnya menuju Dunia Timur. Aksi semacam ini berlangsung sangat brutal, terutama pada masa Perang Salib Pertama,[76] manakala paguyuban-paguyuban umat Yahudi di Köln, Mainz, dan Worms dibinasakan, dan paguyuban-paguyuban umat Yahudi di kota-kota yang terletak di antara Sungai Seine dan Sungai Rhein didera kehancuran.[210] Dampak lain dari Perang Salib adalah terbentuknya tarekat-tarekat zuhud jenis baru, yakni Tarekat Ketentaraan Haikal (bahasa Latin: Ordo Militum Templariorum) dan Tarekat Panti Husada (bahasa Latin: Ordo Hospitalis), yang memadukan cara hidup zuhud dan darmabakti keprajuritan.[211]

Bala Tentara Salib mendirikan negara-negara Tentara Salib di daerah-daerah taklukan mereka. Pada abad ke-12 dan ke-13, timbul serangkaian konflik di antara negara-negara ini dan negara-negara Islam di sekitarnya. Permohonan bantuan yang diajukan negara-negara Tentara Salib kepada lembaga kepausan menghasilkan pemakluman perang-perang Salib berikutnya,[209] misalnya pemakluman Perang Salib Ketiga untuk merebut kembali Yerusalem yang telah jatuh ke tangan Sultan Mesir dan Syam, Saladin (wafat 1193), pada 1187.[212][Y] Pada 1203, Perang Salib Keempat beralih sasaran dari Tanah Suci ke Konstantinopel. Kota Konstantinopel direbut pada 1204 oleh bala Tentara Salib yang mendirikan Kekaisaran Latin Konstantinopel.[214] Peristiwa ini benar-benar melemahkan Kekaisaran Romawi Timur. Meskipun berhasil merebut kembali Konstantinopel pada 1261, Kekaisaran Romawi Timur tidak sanggup lagi memulihkan kekuatannya seperti sediakala.[215] Pada 1291, semua negara Tentara Salib telah ditaklukkan atau disingkirkan dari daratan Timur Tengah, meskipun Kerajaan Yerusalem tituler masih bertahan hidup di Pulau Siprus sampai beberapa tahun kemudian.[216]

Para Paus menyerukan agar perang-perang Salib dikobarkan di tempat-tempat selain Tanah Suci, yakni di Spanyol, di kawasan selatan Prancis, dan di kawasan sekeliling Laut Baltik.[209] Perang Salib Spanyol menyatu dengan Perang Reconquista (penaklukan kembali) negeri Spanyol dari kekuasaan kaum Muslim. Meskipun Tarekat Kesatria Haikal dan Tarekat Kesatria Pramuhusada ikut serta dalam Perang Salib Spanyol, tarekat-tarekat militer religius asli Spanyol juga dibentuk, sebagian besar di antaranya telah bergabung membentuk dua tarekat besar, yakni Tarekat Kalatrava dan Tarekat Santiago, pada permulaan abad ke-12.[217] Kawasan utara Eropa juga masih berada di luar lingkup pengaruh agama Kristen sampai dengan abad ke-11 atau abad-abad sesudahnya, dan menjadi medan tempur Perang Salib Utara pada abad ke-12 sampai dengan abad ke-14. Perang Salib ini juga menghasilkan pembentukan sebuah tarekat militer, yakni Tarekat Saudara-Saudara Pedang. Tarekat lainnya, yakni Tarekat Kesatria Teuton, dibentuk di negara-negara Tentara Salib, tetapi lebih banyak berkiprah di kawasan persekitaran Laut Baltik selepas tahun 1225, dan memindahkan markas besarnya ke Marienburg di Prusia pada 1309.[218]

Pada abad ke-11, perkembangan di bidang ilmu filsafat dan ilmu teologi menyebabkan kegiatan ilmiah meningkat. Penganut paham realisme dan penganut paham nominalisme memperdebatkan konsep "kesemestaan". Wacana-wacana filsafati disemarakkan oleh penemuan kembali gagasan-gagasan Aristoteles yang mengutamakan empirisme dan rasionalisme. Para cendekiawan seperti Petrus Abelardus (wafat 1142) dan Petrus Lombardus (wafat 1164) memperkenalkan logika ala Aristoteles ke dalam ilmu teologi. Pada penghujung abad ke-11 dan permulaan abad ke-12, sekolah-sekolah katedral marak bermunculan di seluruh kawasan barat Eropa, menandai beralihnya proses belajar-mengajar dari biara-biara ke katedral-katedral dan kota-kota.[219] Sekolah-sekolah katedral kemudian hari tergantikan oleh universitas-universitas yang didirikan di kota-kota besar Eropa.[220] Filsafat dan teologi melebur dan menyatu menjadi paham skolastisisme, yang merupakan ikhtiar para cendekiawan abad ke-12 dan ke-13 untuk merukunkan berbagai karya tulis yang dianggap berwibawa, terutama merukunkan gagasan-gagasan Aristoteles dengan Alkitab. Gerakan skolastisisme berusaha menerapkan pendekatan yang sistematis pada kebenaran dan akal budi.[221] Gerakan ini berpuncak pada gagasan-gagasan Tomas Aquinas (wafat 1274), penulis Summa Theologica (Ikhtisar Teologi).[222]

Kejatmikaan dan adab asmara bersusila berkembang di lingkungan istana dan kalangan bangsawan. Budaya keningrat-ningratan ini diungkapkan dengan menggunakan bahasa-bahasa rakyat, alih-alih menggunakan bahasa Latin, dalam bentuk puisi, hikayat, legenda, dan lagu-lagu populer yang disebarluaskan oleh para troubadour (penghibur keliling). Hikayat-hikayat ini sering kali ditulis dalam bentuk chansons de geste (kidung-kidung wiracarita) semisal Kidung Roland atau Kidung Hildebrand.[223] Karya-karya tulis sejarah sekuler maupun agamawi juga dihasilkan pada kurun waktu ini.[224] Galfridus Orang Fynwy (wafat sekitar 1155) menyusun Historia Regum Britanniae (Sejarah Raja-Raja Britania), sekumpulan hikayat dan legenda tentang Raja Arthur.[225] Karya-karya tulis lainnya lebih bersifat sejarah, misalnya Gesta Friderici Imperatoris (Hikayat Kaisar Friedrich) karya Otto dari Freising (wafat 1158) yang berisi penjabaran terperinci mengenai sepak terjang Kaisar Friedrich Barbarossa, ataupun Gesta Regum (Hikayat Raja-Raja) karya William dari Malmesbury (wafat sekitar 1143) yang memuat riwayat raja-raja Inggris.[224]

Kajian-kajian di bidang hukum mengalami kemajuan pada ke-12. Hukum sekuler maupun hukum kanon (hukum Gereja) dipelajari pada Puncak Abad Pertengahan. Hukum sekuler, atau hukum Romawi, mengalami kemajuan besar berkat penemuan Corpus Juris Civilis (Kitab Undang-Undang Hukum Sipil) pada abad ke-11, dan pada tahun 1100, hukum Romawi sudah diajarkan di Bologna. Perkembangan ini bermuara pada pencatatan dan pembakuan kaidah-kaidah hukum di seluruh kawasan barat Eropa. Hukum kanon juga dipelajari, dan sekitar tahun 1140, seorang rahib bernama Grasianus (berkarya pada abad ke-12), yang berprofesi sebagai pengajar ilmu teologi di Bologna, menyusun kitab Decretum (Ketetapan), yang menjadi buku pedoman di bidang hukum kanon.[226]

Salah satu dampak dari pengaruh budaya Yunani dan Islam terhadap sejarah Eropa pada kurun waktu ini adalah penggantian angka Romawi dengan tata urutan angka desimal dan penciptaan ilmu aljabar, yang memungkinkan ilmu matematika menjadi lebih maju. Ilmu astronomi mengalami kemajuan setelah kitab Almagestum karya Ptolemaios diterjemahkan dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Latin pada penghujung abad ke-12. Ilmu kedokteran juga mulai dipelajari, teristimewa di kawasan selatan Italia, tempat ilmu kedokteran Islam mempengaruhi sekolah kedokteran di Salerno.[227]

Awal Abad Pertengahan

Tatanan politik Eropa Barat berubah seiring tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi bersatu. Meskipun pergerakan-pergerakan suku-suku bangsa yang terjadi kala itu lazimnya digambarkan sebagai “invasi”, pergerakan-pergerakan ini bukan semata-mata merupakan pergerakan militer melainkan juga gerak perpindahan seluruh warga suku-suku bangsa itu ke dalam wilayah kekaisaran.

Pergerakan-pergerakan semacam ini dileluasakan oleh penolakan para petinggi Romawi di wilayah barat untuk menyokong angkatan bersenjata maupun untuk membayar pajak-pajak yang mampu memberdayakan angkatan bersenjata guna membendung arus migrasi. Para kaisar abad ke-5 kerap dikendalikan oleh orang-orang kuat dari kalangan militer seperti Stiliko (wafat 408), Esius (wafat 454), Aspar (wafat 471), Ricimer (wafat 472), dan Gundobad (wafat 516), yakni orang-orang peranakan Romawi atau sama sekali tidak berdarah Romawi.

Meskipun wilayah barat tidak lagi diperintah oleh kaisar-kaisar, banyak di antara raja-raja yang memerintah di wilayah itu masih terhitung kerabat mereka. Perkawinan campur antara wangsa-wangsa penguasa yang baru dan kaum bangsawan Romawi sudah lumrah terjadi. Akibatnya, budaya asli Romawi pun mulai bercampur dengan adat istiadat suku-suku yang menduduki wilayah barat, termasuk penyelenggaraan sidang-sidang rakyat yang semakin memberi ruang bagi warga suku laki-laki yang merdeka untuk urun rembuk dalam perkara-perkara politik, berbeda dari kebiasaan yang dulu berlaku di negeri Romawi.

Barang-barang peninggalan orang Romawi sering kali serupa dengan barang-barang peninggalan suku-suku yang menduduki wilayah barat, dan barang-barang buatan suku-suku itu sering kali dibuat dengan cara meniru bentuk barang-barang buatan Romawi. Sebagian besar budaya tulis dan ilmiah di kerajaan-kerajaan baru itu juga didasarkan kepada tradisi-tradisi intelektual Romawi.

Salah satu perbedaan penting kerajaan-kerajaan baru ini dari Kekaisaran Romawi adalah kian susutnya penerimaan pajak sebagai sumber pendapatan pemerintah. Banyak dari kerajaan-kerajaan baru ini tidak lagi menafkahi angkatan bersenjata mereka dengan menggunakan dana penerimaan pajak, tetapi dengan anugerah lahan atau hak sewa lahan. Dengan demikian, penerimaan pajak dalam jumlah besar sudah tidak diperlukan lagi, sehingga tatanan perpajakan Romawi akhirnya ditinggalkan. Saat itu, perang menjadi sesuatu yang lumrah, baik perang antarkerajaan maupun perang di dalam suatu kerajaan. Angka perbudakan menurun karena pasokan berkurang, dan masyarakat pun semakin bercorak pedesaan.

Invasi-invasi membawa masuk suku-suku bangsa baru ke Eropa, meskipun beberapa kawasan dibanjiri lebih banyak suku bangsa baru dibandingkan dengan kawasan-kawasan lain. Sebagai contoh, suku-suku bangsa yang menginvasi Galia lebih banyak menetap di daerah timur laut daripada di daerah barat daya. Orang Slav menetap di kawasan tengah dan kawasan timur Eropa, serta di Jazirah Balkan.

Menetapnya suku-suku bangsa di suatu kawasan menyebabkan pula perubahan bahasa-bahasa di kawasan itu. Bahasa Latin, bahasa Kekaisaran Romawi Barat, lambat laun tergantikan oleh bahasa-bahasa turunan bahasa Latin, tetapi berbeda dari bahasa Latin, yakni bahasa-bahasa yang kini tergolong dalam rumpun bahasa Romawi. Peralihan dari bahasa Latin ke bahasa-bahasa baru ini berjalan selama berabad-abad.

Bahasa Yunani di sisi lain masih tetap menjadi bahasa Kekaisaran Bizantin, tetapi migrasi-migrasi orang Slav ke Eropa Timur membawa serta bahasa-bahasa rumpun Slav yang menambah keanekaragaman bahasa di wilayah kekaisaran itu.

Tatkala kerajaan-kerajaan baru bertumbuh di Eropa Barat, Kekaisaran Romawi Timur justru tetap utuh dan mengalami kebangkitan perekonomian yang bertahan sampai dengan abad ke-7. Wilayah timur Kekaisaran Romawi ini juga didera invasi, tetapi dalam jumlah yang lebih kecil; sebagian besar terjadi di kawasan Balkan.

Perdamaian dengan Kekaisaran Sasani, musuh bebuyutan Roma, bertahan hampir sepanjang abad ke-5. Hubungan negara dan Gereja juga menjadi semakin akrab di Kekaisaran Romawi Timur, sampai-sampai perkara doktrin Gereja pun menjadi urusan politik negara. Keadaan semacam ini tidak pernah terjadi di Eropa Barat. Salah satu kemajuan yang dicapai di bidang hukum adalah kodifikasi hukum Romawi; upaya kodifikasi yang pertama, yakni penyusunan Kitab Undang-Undang Teodosius (bahasa Latin: Codex Theodosianus), rampung pada 438.

Mosaik yang menampilkan gambar Kaisar Yustinianus bersama Uskup Ravena, para pengawal, dan para bentara.

Pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565), upaya kodifikasi lainnya dilakukan, yakni penyusunan Kumpulan Hukum Sipil (bahasa Latin: Corpus Juris Civilis). Kaisar Yustinianus juga menitahkan pembangunan Hagia Sophia di Konstantinopel, serta mengerahkan bala tentara Romawi di bawah pimpinan Belisarius (wafat 565) untuk merebut kembali Afrika Utara dari orang Vandal, dan merebut kembali Italia dari orang Ostrogoth.

Penaklukan Italia tidak kunjung tuntas akibat merebaknya wabah maut pada 542 yang mendorong Kaisar Yustinianus untuk mengerahkan seluruh kekuatan militer bagi kepentingan pertahanan negara ketimbang bagi usaha-usaha penaklukan sampai masa pemerintahannya berakhir.

Ketika Kaisar Yustinianus mangkat, orang-orang Bizantin telah menguasai sebagian besar wilayah Italia, Afrika Utara, dan sejumlah kecil daerah tempat berpijak di kawasan selatan Spanyol. Upaya Kaisar Yustinianus untuk merebut kembali wilayah-wilayah itu dicela oleh para sejarawan sebagai suatu usaha perluasan wilayah yang melebihi kesanggupan dan membuat Kekaisaran Bizantin menjadi rentan terhadap aksi-aksi penaklukan perdana kaum Muslim.

Meskipun demikian, banyak dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh para pengganti Yustinianus bukan semata-mata disebabkan oleh pengenaan pajak secara berlebihan guna mendanai perang-perang pada masa pemerintahan Yustinianus, melainkan juga disebabkan oleh sifat sipil yang merupakan sifat asasi kekaisaran itu, sehingga kekaisaran sukar untuk merekrut rakyat menjadi prajurit.

Penyusupan orang Slav di wilayah timur Kekaisaran Romawi secara perlahan-lahan ke kawasan Balkan menambah jumlah masalah yang harus dihadapi para kaisar pengganti Yustinianus. Proses penyusupan ini berlangsung sedikit demi sedikit, tetapi pada penghujung era 540-an, suku-suku Slav sudah menduduki Trakia dan Iliria (bahasa Latin: Illyricum), setelah mengalahkan bala tentara kekaisaran di dekat Adrianopel pada 551.

Pada era 560-an, orang Avar mulai meluaskan wilayah kekuasan dari pangkalan mereka di tepi utara Sungai Donau; pada penghujung abad ke-6, orang Avar sudah merajalela di Eropa Tengah dan mampu secara rutin memaksa kaisar-kaisar wilayah timur untuk mempersembahkan upeti. Orang Avar terus merajalela sampai 796.

Masalah lain yang harus dihadapi kekaisaran muncul sebagai akibat dari campur tangan Kaisar Maurisius (memerintah 582–602) dalam sengketa alih kepemimpinan di Persia. Campur tangan Kaisar Maurisius dalam urusan politik Persia ini memang membuahkan hubungan damai antara kedua kekaisaran, tetapi ketika Kaisar Maurisius digulingkan dari takhta, orang-orang Persia kembali menyerang.

Pada masa pemerintahan Kaisar Heraklius (memerintah 610–641), orang-orang Persia telah menguasai sebagian besar wilayah Kekaisaran Bizantin, termasuk Mesir, Suriah, dan Anatolia, sebelum akhirnya dapat dipukul mundur oleh Kaisar Heraklius. Pada 628, Kekaisaran Bizantin berhasil mengikat perjanjian damai dengan Persia dan menguasai kembali seluruh wilayahnya yang pernah direbut.

Militer dan perkembangan teknologi

Perkembangan-perkembangan utama di bidang militer pada kurun waktu akhir Kekaisaran Romawi meliputi usaha untuk membentuk pasukan-pasukan aswasada yang tangguh, dan usaha berkelanjutan untuk membentuk berbagai macam pasukan khusus. Pembentukan satuan-satuan prajurit bersenjata berat jenis katafrak (berbaju zirah lengkap) menjadi pasukan-pasukan aswasada adalah salah satu hasil reka cipta militer Romawi yang penting pada abad ke-5. Bermacam-macam suku yang menginvasi wilayah Kekaisaran Romawi menonjolkan jenis prajurit andalan yang berbeda-beda, mulai dari pasukan pejalan kaki andalan orang Saksen-Inggris yang menginvasi Britania sampai dengan pasukan-pasukan aswasada yang merupakan bagian terbesar dari bala tentara orang Vandal dan orang Visigoth.[144] Pada permulaan kurun waktu invasi, sanggurdi belum dikenal dan digunakan untuk berperang, sehingga membatasi pendayagunaan pasukan aswasada sebagai pasukan pembidas, karena penunggang tidak mungkin dapat mengayunkan senjata dengan kekuatan penuh sambil berkuda tanpa sanggurdi.[145] Perkembangan terbesar di bidang militer pada kurun waktu invasi adalah peralihan ke pemakaian busur rakitan khas Hun sebagai pengganti busur rakitan khas Skitia yang lebih lemah dan sebelumnya lazim digunakan.[146] Perkembangan lainnya adalah peningkatan pemakaian pedang panjang,[147] dan peralihan bertahap dari pemakaian zirah sisik ke pemakaian zirah rantai dan zirah keping.[148]

Pasukan pejalan kaki dan aswasada semakin kurang diandalkan pada permulaan zaman Kekaisaran Karoling, seiring dengan kian diandalkannya pasukan aswasada khusus berperlengkapan berat. Pengerahan satuan-satuan wajib militer jenis milisi yang berasal dari warga berstatus merdeka (bukan budak belian) kian berkurang pada zaman Kekaisaran Karoling.[149] Meskipun terdiri atas sejumlah besar penunggang kuda, sebagian besar prajurit pada permulaan zaman Kekaisaran Karoling adalah prajurit pejalan kaki yang menunggang kuda, bukan aswasada yang sesungguhnya.[150] Berbeda dari bala tentara Saksen-Inggris yang masih terdiri atas pasukan-pasukan wajib militer daerah yang disebut fyrd, di bawah pimpinan pembesar daerah masing-masing.[151] Salah satu perubahan utama di bidang teknologi militer adalah kemunculan kembali busur silang, yang sudah dikenal pada zaman Kekaisaran Romawi dan digunakan kembali sebagai senjata militer pada penghujung kurun waktu Awal Abad Pertengahan.[152] Perubahan lainnya adalah pengenalan sanggurdi, yang meningkatkan daya guna pasukan aswasada sebagai pasukan pembidas. Salah satu kemajuan teknologi yang juga dirasakan manfaatnya di luar lingkungan militer adalah ladam, yang memungkinkan orang memacu kuda di medan berbatu.[153]

Awal Abad Pertengahan

Kerajaan-kerajaan baru dan pulihnya Kekaisaran Romawi Timur

Usaha raja-raja pribumi untuk melawan serangan kaum pendatang menghasilkan pembentukan entitas-entitas politik baru. Di Pulau Britania yang dihuni orang Saksen-Inggris, Raja Alfred Agung (memerintah 871–899) menyepakati sebuah perjanjian dengan para penyerang Viking pada penghujung abad ke-9, yang menghasilkan pendirian permukiman-permukiman orang Dani di Northumbria, Mercia, dan sejumlah daerah di Anglia Timur.[119] Pada pertengahan abad ke-10, para pengganti Raja Alfred Agung berjaya menaklukkan Northumbria, dan memulihkan kekuasaan orang Saksen-Inggris atas sebagian besar kawasan selatan Pulau Britania.[120] Di kawasan utara Pulau Britania, Cináed mac Ailpín (wafat sekitar 860) mempersatukan orang Pikti dan orang Skoti ke dalam Kerajaan Alba.[121] Pada awal abad ke-10, wangsa Otto telah berhasil menjadi wangsa yang terkemuka di Jerman, dan memimpin perjuangan mengusir para penyerang Magyar. Perjuangan ini mencapai puncaknya dengan penobatan Otto I (memerintah 936–973) menjadi Kaisar Romawi Suci pada 962.[122] Pada 972, ia berhasil mendapatkan pengakuan atas gelar kaisarnya dari Kekaisaran Romawi Timur, yang ia kukuhkan melalui pernikahan putranya, Otto II (memerintah 967–983), dengan Teofania (wafat 991), kemenakan dari Kaisar Romawi Timur yang sedang memerintah dan putri dari mendiang Kaisar Romawi Timur sebelumnya, Romanos II (memerintah 959–963).[123] Menjelang akhir abad ke-10, Italia telah berhasil dimasukkan ke dalam mandala kekuasaan wangsa Otto setelah negeri itu dilanda kekacauan.[124] Kaisar Otto III (memerintah 996–1002) kemudian hari bermastautin di Italia.[125] Negeri Franka Barat kian terpecah-belah. Meskipun secara nominal masih diperintah oleh raja-raja, sebagian besar kuasa politik di negeri itu sudah berpindah ke tangan para kepala daerah.[126]

Usaha pengkristenan masyarakat Skandinavia pada abad ke-9 dan ke-10 membantu memperkuat pertumbuhan kerajaan-kerajaan di kawasan itu, misalnya Kerajaan Swedia, Kerajaan Denmark, dan Kerajaan Norwegia, yang lama-kelamaan semakin besar kekuatannya dan semakin luas pula wilayah kedaulatannya. Sejumlah raja beralih keyakinan menjadi pemeluk agama Kristen, meskipun tidak semuanya beralih keyakinan pada tahun 1000. Orang-orang Skandinavia juga melakukan perluasan wilayah dan melakukan kolonisasi di seluruh Eropa. Selain di Irlandia, Inggris, dan Normandia, orang-orang Skandinavia juga mendirikan permukiman di kawasan-kawasan yang kini menjadi wilayah negara Rusia dan wilayah negara Islandia. Para pedagang dan penjarah dari Swedia menjelajahi sungai-sungai yang mengaliri stepa Rusia, bahkan pernah mencoba merebut Konstantinopel pada 860 dan 907.[127] Negeri Kristen Spanyol mula-mula hanya mencakup wilayah yang tak seberapa luas di kawasan utara Jazirah Iberia, tetapi lambat laun meluas ke kawasan selatan pada abad ke-9 dan ke-10, serta membentuk Kerajaan Asturias dan Kerajaan León.[128]

Di Eropa Timur, Romawi Timur memulihkan kemakmurannya pada masa pemerintahan Kaisar Basilius I (memerintah 867–886) dan para penggantinya, Kaisar Leo VI (memerintah 886–912) dan Kaisar Konstantinus VII (memerintah 913–959). Ketiga-tiganya berasal dari wangsa Makedonia. Perniagaan kembali bergairah, dan para kaisar berusaha menyeragamkan tata laksana administrasi pemerintahan di seluruh provinsi Kekaisaran Romawi Timur. Militer kekaisaran ditata kembali sehingga memungkinkan Kaisar Yohanes I (memerintah 969–976) dan Kaisar Basilius II (memerintah 976–1025) menggeser maju seluruh tapal batas wilayah kekaisaran. Lingkungan istana Kekaisaran Romawi Timur menjadi pusat kebangkitan pendidikan klasik. Proses kebangkitan pendidikan klasik ini dikenal dengan sebutan Abad Pembaharuan Makedonia. Para pujangga seperti Yohanes Geometres (aktif berkarya pada awal abad ke-10) menggubah madah-madah baru, syair-syair baru, dan menghasilkan karya-karya tulis baru dari ragam-ragam sastra lainnya.[129] Usaha penyebaran agama Kristen yang dilakukan rohaniwan-rohaniwan Gereja Timur maupun Gereja Barat berhasil membuat orang Moravia, orang Bulgaria, orang Bohemia, orang Polandia, orang Magyar, dan orang Slav dari Rus' Kiev berganti keyakinan menjadi pemeluk agama Kristen. Perpindahan agama ini turut berjasa dalam pembentukan negara politik di negeri-negeri kediaman suku-suku bangsa itu, yakni negara Moravia, negara Bulgaria, negara Bohemia, negara Polandia, negara Hungaria, dan negara Rus' Kiev.[130] Wilayah negara Bulgaria, yang didirikan sekitar tahun 680, pada puncak kejayaannya membentang dari Budapest sampai ke Laut Hitam, dan dari Sungai Dnieper di Ukraina sekarang ini sampai ke Laut Adriatik.[131] Pada 1018, bangsawan-bangsawan terakhir Bulgaria telah takluk di bawah Kekaisaran Romawi Timur.[132]

Penghujung Zaman Kekaisaran Romawi

Luas wilayah Kekaisaran Romawi mencapai puncaknya pada abad ke-2 Masehi; dalam dua abad berikutnya, Kekaisaran Romawi lambat laun kehilangan kendali atas daerah-daerah di tapal batas wilayahnya.[18] Permasalahan-permasalahan ekonomi, termasuk inflasi, dan tekanan asing di tapal batas wilayah kekaisaran adalah penyebab timbulnya krisis pada abad ke-3. Selama masa krisis ini, kaisar demi kaisar dinobatkan hanya untuk dimakzulkan dengan segera oleh perampas takhta berikutnya.[19] Belanja militer terus meningkat sepanjang abad ke-3, terutama untuk membiayai perang melawan Kekaisaran Sasani yang kembali berkobar pada pertengahan abad ke-3.[20] Bala tentara dilipatgandakan, dan pasukan aswasada serta satuan-satuan ketentaraan yang lebih kecil mengambil alih fungsi legiun Romawi sebagai satuan taktis utama.[21] Kebutuhan akan pendapatan mengakibatkan kenaikan pajak dan penurunan jumlah curialis, atau golongan tuan-tuan tanah, serta penurunan jumlah tuan-tuan tanah yang bersedia memikul beban selaku pejabat di kota asalnya.[20] Meningkatnya kebutuhan akan tenaga birokrat dalam administrasi pemerintah pusat untuk menangani kebutuhan-kebutuhan tentara mengakibatkan munculnya keluhan-keluhan dari masyarakat bahwasanya jumlah pemungut pajak di dalam wilayah kekaisaran lebih besar daripada jumlah pembayar pajak.[21]

Pada 286, Kaisar Dioklesianus (memerintah 284–305) membagi wilayah kekaisaran menjadi wilayah timur dan wilayah barat, masing-masing dengan administrasi pemerintahan sendiri; Kekaisaran Romawi tidak dianggap telah terbagi dua, baik oleh rakyat maupun penguasanya, karena keputusan-keputusan hukum dan administrasi yang dikeluarkan oleh salah satu wilayah juga dianggap sah oleh wilayah yang lain.[22][C] Pada 330, setelah masa perang saudara berakhir, Konstantinus Agung (memerintah 306–337) membangun kembali kota Bizantium sebagai ibu kota wilayah timur yang baru, dan menamainya Konstantinopel.[23] Upaya-upaya pembaharuan yang dilakukan Kaisar Dioklesianus berhasil memperkukuh birokrasi pemerintahan, menata ulang sistem perpajakan, dan memperkuat angkatan bersenjata. Langkah ini berhasil menyelamatkan kekaisaran tetapi tidak menuntaskan masalah-masalah yang dihadapinya, antara lain pajak yang terlampau tinggi, penurunan angka kelahiran, dan rongrongan bangsa-bangsa asing di tapal batas wilayah.[24] Perang saudara antarkaisar menjadi hal yang lumrah pada pertengahan abad ke-4. Perang-perang saudara ini menguras kekuatan angkatan bersenjata yang menjaga tapal batas wilayah sehingga memudahkan para bangsa-bangsa asing menerobos masuk ke dalam wilayah kekaisaran.[25] Hampir sepanjang abad ke-4, masyarakat Romawi menjadi terbiasa hidup dalam suatu tatanan baru yang berbeda dari tatanan kemasyarakatan Romawi pada Abad Kuno, dengan melebarnya kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, serta meredupnya gairah hidup kota-kota kecil.[26] Perkembangan baru lainnya adalah penyebaran Kristen, atau peralihan keyakinan warga kekaisaran ke agama Kristen, suatu proses yang berjalan sedikit demi sedikit sejak abad ke-2 sampai abad ke-5.[27][28]

Pada 376, orang Goth yang sedang meluputkan diri dari kejaran orang Hun, mendapatkan izin dari Kaisar Valens (memerintah 364–378) untuk menetap di Provinsi Trakia (bahasa Latin: Provincia Thracia), wilayah Kekaisaran Romawi di Jazirah Balkan. Proses pemasyarakatan orang Goth di Provinsi Trakia tidak berjalan mulus, dan manakala para pejabat Romawi mengambil tindakan yang keliru, orang-orang Goth mulai melancarkan aksi-aksi penyerbuan dan penjarahan.[D] Kaisar Valens, yang berusaha meredakan kekacauan, gugur dalam Pertempuran Adrianopel melawan orang Goth pada 9 Agustus 378.[30] Selain ancaman-ancaman dari konfederasi-konfederasi kesukuan semacam itu yang mendesak dari utara, Kekaisaran Romawi juga harus menghadapi masalah-masalah yang diakibatkan oleh perpecahan di dalam negeri, khususnya perpecahan di kalangan umat Kristen.[31] Pada 400, orang Visigoth menginvasi Kekaisaran Romawi Barat, dan meskipun sempat terpukul mundur dari Italia, akhirnya berhasil menduduki dan menjarah kota Roma pada 410.[32] Pada 406, orang Alan, orang Vandal, dan orang Suevi memasuki Galia; selama tiga tahun berikutnya mereka menyebar ke seluruh pelosok Galia, melintasi Pegunungan Pirenia, dan masuk ke wilayah yang kini menjadi negeri Spanyol pada 409.[33] Zaman Migrasi bermula ketika berbagai suku bangsa, mula-mula sebagian besar adalah suku-suku Jermanik, berpindah dari satu tempat ke tempat lain di seluruh Eropa. Orang Franka, orang Alemani, dan orang Burgundi pindah dan bermukim di kawasan utara Galia; orang Angli, orang Saksen, dan orang Yuti menetap di Britania;[34] sementara orang Vandal menyeberangi Selat Gibraltar dan mendaulat Provinsi Afrika (bahasa Latin: Provincia Africa).[35] Pada dasawarsa 430-an, orang Hun mulai menginvasi Kekaisaran Romawi; Raja orang Hun, Attila (memerintah 434–453), memimpin invasi-invasi ke Jazirah Balkan pada 442 dan 447, ke Galia pada 451, dan ke Italia pada 452.[36] Ancaman orang Hun terus membayang-bayangi Kekaisaran Romawi sampai konfederasi suku-suku Hun pecah kongsi sepeninggal Attila wafat pada 453.[37] Invasi-invasi yang dilancarkan suku-suku asing ini sepenuhnya merombak tatanan politik dan kemasyarakatan di Kekaisaran Romawi Barat pada masa itu.[34]

Menjelang akhir abad ke-5, wilayah barat Kekaisaran Romawi sudah terpecah menjadi banyak negara kecil, masing-masing dikuasai oleh suku yang menginvasinya pada permulaan abad itu.[38] Pemakzulan kaisar wilayah barat yang terakhir, Romulus Agustulus, pada 476 sudah lama dijadikan tonggak sejarah yang menandai tamatnya riwayat Kekaisaran Romawi Barat.[11][E] Pada 493, Jazirah Italia ditaklukkan oleh orang Ostrogoth.[39] Kekaisaran Romawi Timur, yang kerap disebut Kekaisaran Romawi Timur setelah tumbangnya pemerintah wilayah barat, tidak mampu berbuat banyak untuk menegakkan kembali kedaulatannya atas daerah-daerah wilayah barat yang sudah lepas dari genggamannya. Para Kaisar Romawi Timur tetap mendaku sebagai penguasa atas daerah-daerah itu, tetapi kendati tak seorang pun dari raja-raja baru di wilayah barat berani meninggikan diri menjadi kaisar wilayah barat, kendali Romawi Timur atas sebagian besar wilayah barat Kekaisaran Romawi tidak dapat dipertahankan; penaklukan kembali daerah-daerah di sepanjang pesisir Laut Tengah dan di Jazirah Italia (Perang Goth) pada masa pemerintahan Kaisar Yustinianus (memerintah 527–565) adalah satu-satunya pengecualian, meskipun tidak bertahan lama.[40]

Puncak Abad Pertengahan

Abad Pertengahan – Istilah Abad Pertengahan digunakan untuk membantu di dalam menjelaskan dua zaman lain, yaitu zaman kuno dan zaman modern. Abad Pertengahan adalah suatu periodesasi dalam sejarah yang mendeskripsikan tentang Eropa dalam periode antara jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M hingga dimulainya era Renaissance (Abad Pembaharuan) pada abad ke-16. Tidak begitu jelas penarikan dimulainya Abad Pertengahan di Eropa ini. Beberapa sejarawan merujuk waktu terjadinya Abad Pertengahan ini dimulai pada kembali berkuasanya gereja dalam seluruh aspek kehidupan. Hal ini terjadi sejak pemahkotaan Karel Agung oleh Paus Leo III sebagai kaisar pada tahun 800 M.

Abad Pertengahan juga dianggap sebagai sebuah periode yang panjang dalam sejarah Eropa ketika nyaris tidak mengalami perkembangan apa-apa. Bahkan dalam periode ini Eropa justru dapat dikatakan mengalami kemunduran. Kemunduran ini terjadi dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan) sehingga masa ini juga disebut dengan zaman kegelapan.

Perlu dipahami bahwa jika dibandingkan dengan zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno, manusia telah menghasilkan karya-karya besar dalam bidang kebudayaan, baik dalam bidang seni arsitektur, sastra, filsafat, politik dan kenegaraan. Sedangkan pada Abad Pertengahan, itu tidak terjadi lagi karena disebabkan oleh Odoacer yang barbar dan dominannya pengaruh gereja Katolik dalam kehidupan bangsa Eropa.

Jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476 M ditandai dengan menyerahnya Romulus Augustus ke tangan Odoacer dari bangsa Germanik, hal ini mengakibatkan kebudayaan Yunani Kuno dan Romawi Kuno tidak berkembang karena suku bangsa Germanik tidak begitu menaruh minat dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan.

Pada tahun 800 M, kondisi politik Eropa mulai mengalami perubahan. Gereja Katolik mulai tampil sebagai penguasa yang dominan, baik dalam kehidupan politik maupun keagamaan. Pada tahun itu pula, Paus Leo III memahkotai Charlemagne (Karel Agung) sebagai kaisar. Di bawah Karel Agung pula, Eropa disatukan di bawah satu kekaisaran besar yang disebut dengan Kekaisaran Romawi Suci (The Holy Roman Empire).

Selain mengemban tugas politik, Kaisar Romawi Suci juga memiliki tugas misi keagamaan, yaitu melindungi agama Katolik dan menjamin penyebarannya ke seluruh Eropa. Di dalam konteks itu, setiap kaisar harus taat pada keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Paus. Setiap kaisar di dalam lingkup Kekaisaran Romawi Suci tidak sah menjadi kaisar jika tidak mendapatkan persetujuan dan pemahkotaan oleh Paus.

Potensi yang dimiliki oleh orang-orang pada zaman Yunani Kuno dan Romawi Kuno yang umumnya terekspresikan melalui karya seni, sastra, dan ilmu pengetahuan terhenti selama Abad Pertengahan. Pada masa ini, ketaatan kepada wahyu Tuhan melalui kitab suci jauh lebih penting daripada mengejar keinginan-keinginan dan ambisi yang bersifat duniawi.

Mengejar surga atau akhirat jauh lebih penting daripada mewujudkan secara maksimal potensi diri setiap individu lewat kebahagiaan dan kesejahteraannya di dunia. Manusia dianggap hanya sekedar peziarah dunia (viat mundi). Seluruh perhatian dan kegiatan gereja diarahkan hanya untuk kepentingan akhirat. Kekuasaan gereja Abad Pertengahan yang begitu kuat, sehingga sikap taat kepada gereja yang ditunjukkan masyarakat kepada para pejabat gereja lainnya, diidentikkan dengan ketaatan kepada Tuhan.

Dengan kekuasaan besar seperti itu, sangatlah mudah bagi para pemimpin gereja berkesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaannya dengan mengatasnamakan firman Tuhan atau kehendak Tuhan. Paus dalam hal ini juga selain sebagai pemimpin agama, merangkap pula sebagai pemimpin politik serta penguasa atas raja-raja di Eropa.

Abad Pertengahan merupakan masa di mana kekuasaan gereja banyak diwarnai oleh tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran moral, terutama hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan kekuasaan para pemimpin gereja.